Tuesday, November 6, 2007

OH MY STEP MOM

Langit semakin melukis kelam, dinginnya angin musim dingin hampir-hampir membekukan tubuh Sonia saat ini. Ngeri jika tubuhnya benar-benar akan membeku ia tutup jendela yang dari tadi terbuka. Diliriknya jam dinding yang tergantung di salah satu dinding kamarnya. Jam antik warisan nenek moyangnya maksudnya kakak kelasnya yang telah berpulang ke pangkuan ibu pertiwi itu menunjukkan angka 11. Sudah hampir tengah malam, tapi matanya belum boleh tertidur. Bahts Fiqh tugas dari dosennya belum selesai ia tulis. Dan besok adalah hari terakhir pengumpulannya. Kebiasaannya menunda-nunda perkerjaan memang sulit ia hilangkan. Dan beginilah jadinya, ia harus rela bergadang mengejar waktu.

Sonia berniat untuk menyelesaikan bahtsnya ketika tiba-tiba dia teringat sesuatu.
"Astaghfirullah!!! Belum shalat Isya"
Sonia pun mengurungkan niatnya dan bergegas menuju kamar mandi. Namun ketika melewati kamar Deva, anak baru yang juga berasal dari Indonesia, ia mendengar sebuah tangisan.

Ada apa sih??? Karena penasaran, Sonia mengetok pintu kamar. Sebuah kepala yang ia kenal bernama Isma muncul ketika pintu terbuka.
"Eh, Kak Sonia, ahlan.. ahlan.... Maaf lagi ada bayi nangis" kata Isma cengengesan sambil membuka pintu lebar-lebar. Di atas satu-satunya ranjang yang ada di kamar itu terbaring tubuh Deva yang telungkup sambil memeluk boneka Winnie the pooh-nya. Dan tangisan yang ia dengar tadi ternyata berasal darinya.
"Deva kenapa?"
"Entah, dari tadi aku tanyain dia ngak jawab. Yah, aku diemin deh"

Sonia menghampiri Deva dan menyentuh pundaknya. Seperti yang sering ibunya lakukan ketika ia dulu menagis.
"Dev, kamu kenapa? Ada masalah ya? cerita dong dengan kakak. Mungkin aja kakak bisa nyelesainnya atau kita selesaikan sama-sama" bujuk Sonia lembut.

Hi.. hi.. kayaknya kak Sonia udah cocok banget jadi seorang ibu. Pikir Isma yang dari tadi berdiri di samping Sonia sambil mengelus dagunya yang tentu saja nggak ada jenggotnya.
"Iya Dev, bilang dong. Cuma bilang doang susah amat. Nggak bayar kok apalagi ama Kak Sonia. Iya kan kak?" kata Isma menambahkan.
Tak ada jawaban. Tak sabar menunggu jawaban Isma buka mulut.
"Meong kamu yang di kampung mati ya ampe kamu nangis kayak gini? atau..." Isma berpikir sejenak dengan gaya profesornya yang gimanaaa githu.
"Atau putranya pak lurah di desamu nikah ya? trus kamu patah hati. Atau jangan-jangan kamu di jodohin oleh bapak kamu dan kamu ngak mau. Atau..."
"Diaaam!" bentak Deva setengah berteriak membuat Isma yang dari tadi asyik nyerocos terdiam.
"Jadi, benar ya kamu mau dijodohin?" tanya Isma hati-hati.
"Isma... Deva tuh lagi sedih jangan dulu di bercandain. Sekarang kamu tutup mulut dulu"
"Iya deh Isma tutup mulut"
"Dev, bener kamu mau dijodohin?" Sonia mengulang pertanyaan Isma tadi.
Deva menggelengkan kepala kuat-kuat.
"Trus?!"
"Abah kak" ucap Deva akhirnya.
"Abah kamu..."
"Ya ampun Dev, kok ngak bilang dari tadi kalo kamu dapet musibah. Sorry ya Dev, dari tadi aku bercanda terus. Sabar ya, aku doain semoga Abah kamu di terima di sisi Allah dengan tenang" sesal Isma dengan wajah sedih.
"Hua... hu... hu.." tangis Deva kembali terdengar. Nyata benar kalau dia sangat kesal dengan ucapan Isma barusan.
"Bukan itu... kok gitu sih? kok kamu bisa-bisanya doain Abahku cepat mati?" protes Deva dengan suara tersendat-sendat.
Lho kok? keduanya saling berpandangan tak paham.
"Terus apa?" tanya mereka bersamaan.
"Abah.. Abah mau nikah lagi hu.. hu.."
Hah? Jadi Deva dari tadi nangis cuma karena Abahnya mau nikah lagi. Keduanya menggelengkan kepala.
"Trus gimana dengan ibu kamu?"
"Ibu Deva tuh udah ngak ada sejak Deva SMP" jawaban itu terdengar pelan dari mulut Isma, takut menyinggung Deva.
"O, pantes. Wajar aja Abah kamu nikah lagi. Coba Deva hitung berapa lama Abah kamu sendiri? Kamu jangan egois dong. Abah juga butuh teman pengganti ibumu" nasehat Sonia.
"Harusnya juga kamu bersyukur punya ibu lagi" tambah Isma.
"Nggak mau. Deva nggak rela Abah nikah lagi. Nggak ada yang boleh gantiin Ummi di hati Abah. Pokoknya Deva ngak setuju" rengeknya.
Yah nih anak kapan dewasanya? bisik hati Sonia.
"Ya udah. Kamu tenangin hati dulu, jangan nangis lagi ya? cup... cup.. ayo bobo jangan lupa doa supaya Abah membatalkan pernikahannya" Isma mengelus-elus kepala Deva, seperti seorang Ibu yang hendak menidurkan anaknya.
"Isma jangan gitu dong. Deva tuh bukan anak balita, dia tuh udah mahasiswi"tegur Sonia.
"Trus gimana kak? Kakak mau dia nangis terus sampai pagi. Isma juga udah ngantuk, Isma tuh capek. Sekarang udah malam"
"Kok jadi ribut di sini sih? bikin bete aja. Kalo ngak bisa membantu Deva ya udah keluar sana" usir Deva dengan wajah sebal.
"Lho, enak aja. Ini kan kamarku juga?" balas Isma sengit.
"Pokoknya keluar!!! Peduli amat ini kamar kamu atau bukan?" Deva mendorong tubuh keduanya keluar dari kamar dan....
"Brak" pintu tertutup dengan kuat. Dari dalam terdengar suara kunci berputar.
"Duh, bikin jantung ini copot aja" Sonia mengelus-elus dadanya.
"Kak, numpang tidur ya?" pinta Isma dengan wajah memelas.

***

Isma mematut dirinya di depan kaca yang bening sebening pagi yang menyapanya hari ini. Deva masih belum beringsut dari bawah selimut.
"Nggak kuliah Dev?" tanyanya. Tangannya sibuk menyematkan bros di jilbab coklatnya. Sudah rapi. Ia menoleh ke arah Deva.
"Kamu sakit ya?" tanyanya lagi. Terdengar sahutan kecil berbunyi "iya" dari mulut Deva. Isma menarik napas dalam-dalam. Kalau dia mau, rasanya ingin sekali dia marah dengan anak satu ini karena kejadian semalam. Tapi dia mencoba untuk menahan diri. Ada yang harus ia pahami dari diri Deva.
Isma meraih tas ranselnya dan membuka pintu kamar.
"Ya udah. Aku pergi dulu. Assalamu'alaikum"

***

Deva memandang langit-langit putih kamarnya. Sangat tidak enak berdiam diri di kamar. Biasanya sekarang ia sudah berada di bis menuju kuliah atau sudah duduk manis mendengar ceramah dosen di antara anak-anak mesir. Namun berita pernikahan Abah membuatnya malas beraktifitas.

Mengingat Abah ia mendengus kesal. Dulu sewaktu itu ia masih Aliyah, Abah pernah mengatakan ingin menikah. Dari ketiga anaknya, Deva lah yang paling keras protesnya. Sedangkan Afandi, kakak Deva dan Dinda, adiknya setuju saja. Karena salah satu anaknya tidak merestui, tak terdengar lagi suara Abah yang menyinggung tentang pernikahannya. Dan kini? Baru tiga bulan Deva berada di negri kinanah ini, eh sempat-sempatnya Abah nikah.

Huh, Abah nikah berarti Deva punya ibu tiri. Imej jelek tentang ibu tiri yang jahat masih mewarnai pemikirannya. Deva teringat buku-buku dongeng yang sering dia baca ketika kecil seperti Cinderella dan Bawang Putih, yang ada ibu tirinya. Juga sinetron-sinetron yang sekarang sedang marak-maraknya menceritakan kekejaman ibu tiri.

Deva takut Dinda yang masih tinggal dengan Abah jadi korban kekejamannya. Dia membayangkan Dinda disuruh kerja macam-macam, disiksa, dipukul. Hiyy, benar-benar seram membayangkannya.

Deva menutup kepalanya dengan bantal. Namun dengan cepat ia lempar bantal tersebut.
"Bodoh!! Benar-benar bodoh aku ini. Kenapa aku jadi begini sih?" rutuk Deva pada dirinya sendiri.
Deva meyibak selimut tebalnya dan mengambil handuk untuk mandi. Masih ada waktu ke kuliah.

***

Di kuliah Deva bertemu dengan Isma. Kakinya setengah berlari menghampiri Deva membuat debu-debu yang ia tapaki berterbangan.
"Kok kuliah? katanya sakit?" sindir Isma.
"Sakitnya nggak jadi" jawab Deva dengan cueknya. Dia berjalan cepat menuju kelasnya. Sedang Isma tetap menjejeri langkahnya.
"Kok bisa?" Deva menghentikan langkahnya setelah mendengar celetukan itu.
"Kenapa tidak? Terserah aku mau sakit atau tidak. Emang kamu dokter ? Jangankan kamu, dokter aja tak bisa menyembuhkan penyakitku"
"Oh ya!!! Menurut perkataan seorang dokter, penyakit yang tidak bisa di sembuhkan itu penyakit jiwa. Jangan-jangan kamu gila. He..he.." kata Isma dengan gaya sok tahunya.
"Dasar" tak urung juga Deva tersenyum. Bisa aja nih anak.
"Nah gitu dong, senyum kek dari tadi"

***

Deva membuka-buka bukunya dengan gelisah.Isma yang dari tadi menghitung uang minhah yang baru ia dapat dari khozinah semakin tidak dapat menahan diri untuk berkomentar.
"Masih mikirin Abah kamu?" yang di tanya ngak menjawab. Bayangkan selama hampir seminggu kayak gini.
"Deva.. Deva... dewasa dong, kasihanilah aku yang tiap hari liat kamu kayak gini" keluh Isma.
"Nggak tahu Is, aku sih nggak mau mikirin lagi, tapi tetap kepikiran juga. Bayangin deh, Is, tiba-tiba aku punya ibu tiri. Kamu tahu kan? kalo... ibu tiri itu rata-rata jahat?"
"Ya ampun, Dev. Kamu tuh childish banget sih. Ini bukan zamannya upik abu lagi. Yang logis dong, nggak semua ibu tiri itu jahat. Bahkan aku tak pernah menemukan ibu tiri yang berprilaku seperti yang kamu kira itu."
"Iya mungkin. Lalu bagaimana dengan istri Abah? apa iya dia itu orangnya baik?" kata Deva dengan tangan menopang dagu.
"Emang sebaik apa sih dirimu? Sampai bisa-bisanya menilai orang lain jahat. Aku kira Abah kamu tidak mungkin sembarangan memilih wanita untuk teman hidupnya. Buang egomu itu jauh-jauh, beri Abah kesempatan untuk kebahagiaan dirinya. Abahmu tuh udah mengalah sekian tahun, menunggu kalian siap menerima istri pilihannya yang apasti akan jadi ibumu. Lagipula kamu dikirim kuliah kesini bukan diajarkan untuk jadi anak manja"

Deva sempat bengong mendengar khutbah Isma, ternyata Isma yang lucu dan asal itu bisa juga serius.
"Kok diam?" tanya Isma.
"Ngak, aku terpesona aja lihat mulutmu yang ngomel dari tadi kayak peluit kereta api"
"Serius dong!!!" protes Isma kesal.

Perdebatan sengit mereka terhenti ketika mendengar suara ringtone Nokianya Deva.
"Tuh, ha-pe mu, jangan-jangan dari Abahmu ngabarin bahwa dia nggak jadi nikah"
Deva tak terlalu menggubris ocehan Isma. Dia melihat HP nya, sebuah sms masuk. Dari Hilma, salah seorang sepupunya yang juga teman dekatnya.

Dev, kok emailku nggak di bales? Kamu gimana sih , aku tuh udah buang berapa ribu rupiah cuma untuk nulis email ke kamu?

Ia memencet tombol-tombol handponenya menciptakan kata-kata balasan.
Sory, Hil, aku nggak sempat ke warnet beberapa hari ini. Sorry ya, ntar deh, insyaallah kubalas.

****

Deva dengan malas membaca rangkaian kata-kata yang tersusun di mail kiriman Hilma. Dia lagi nggak mood saat ini.

Dev, lama ya kita nggak ketemu? Udah tahu kan kalo Abah nikah . Istri Abah cantik dan baek banget. Pinter masak lagi. Nih aku kirimin photonya. Bukan itu aja aku juga ngirimin photoku waktu jalan-jalan ke Prambanan. Seru loh!!! Eh, kapan kamu ngirim photo sahabatmu si fir'aun itu. Kok ngak pernah nongol di inboxku?................."

Deva tak sabaran menarik krusor kebawah lagi. Dia ingin lihat, siapa sih wanita yang sekarang jadi pendamping Abah. Dibawah ada beberapa photo dan salah satunya benar-benar photo pernikahan Abah.

Deg. Deva terkejut. Inikah ibu tiri yang selama ini dia benci?

Di kliknya photo itu agar lebih besar dan ia bisa melihatanya lebih jelas lagi. Deva akui wanita itu benar-benar cantik dan anggun dengan pakaian muslimah yang ia kenakkan. Tapi, bukan itu yang mengejutkan Deva, melainkan sebuah kursi roda yang di duduki oleh wanita itu. Tiba-tiba kebekuan dihatinya mencair melarutkan rasa benci dan ketakutannya. Tahulah ia sekarang alasan Abah menikahi wanita itu. Mendadak ia sangat malu dengan Abah, Ibu barunya, Isma, Kak Sonia, dan juga jilbab yang nongkrong di kepalanya. Ya Allah apa yang terjadi padaku. Akhlaknya memang belum seindah pakaian yang ia kenakkan.
"Oh my step mom, I swear... I won't hate you again" janjinya.

Bu'utsku Syurgaku

No comments: